Jangan Sampai Salah Kaprah Bagaimana Pola Hidup Sehat di Tengah Pandemi

- 8 Februari 2021, 10:10 WIB
dr Reisa Brotoasmoro
dr Reisa Brotoasmoro /

 

EDITORNEWS - Hidup sehat merupakan keinginan semua orang, bahkan tidak sedikit dari kita rela merogoh kantong dalam demi membayar kesehatan.

Apakah dengan membayar mahal serta konsumsi banyak suplemen sudah bisa dipastikan mendapatkan kesehatan?

Sebenarnya bagaimana mendapatkan dan menjaga pola hidup sehat ini.

Baca Juga: Wacana Pemerintah di Akhir tahun 2021 Akan Menghapus PPnBM Terhadap Mobil Listrik

Baca Juga: Ridho Rhoma Terseret dalam Kasus Narkoba, Polisi Membenarkan Dirinya Dinyatakan Positif Amphetamin

Banyak diantara masyarakat kita di Tanah Air menjadi tidak takut sakit setelah memiliki kartu BPJS Kesehatan di dompetnya, sebab begitu ada keluhan kesehatan mereka bisa datang ke fasilitas kesehatan untuk berobat secara gratis.

Dan kondisi ini menjadi lebih parah lagi akibat banyak yang salah kaprah dalam menyikapi bagaimana menjaga kesehatan, sebab cara hidup sehat bagi mereka sebatas mengonsumsi vitamin yang dibeli di apotek dengan harga mahal.

Semakin mahal vitamin yang dikonsumsi dalam pikirannya semakin sehat pola hidup yang menurut mereka sudah dijalani.

Padahal hidup sehat merupakan pola kehidupan secara holistik meliputi pola makan yang baik dengan gizi seimbang, pola pikir yang positif, dan pola hidup antistres.

Hal itulah yang kemudian mendorong aktivis kesehatan dari Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) berupaya melanjutkan edukasi mengenai pola hidup sehat yang tak salah kaprah, khususnya terkait dengan gizi anak kepada masyarakat.

Pelaksanaan edukasi dengan melibatkan para mitra, termasuk Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas), Muhammadyah, PP Muslimat NU, Himpaudi, serta komunitas ibu dan parenting yang menaruh perhatian besar terhadap kesehatan keluarga.

Baca Juga: Antar Titipan Makanan untuk Warga Binaan Sopir Travel Diamankan Petugas Lapas, Kanapa?

Baca Juga: Simak Prosedur Mendapatkan BLT Rp 2,4 Juta untuk Pelaku Usaha

Perhatian tersebut perlu dioptimalkan mengingat pandemi Covid-19 menjadi faktor risiko yang bisa sangat berbahaya bagi masyarakat yang belum benar-benar paham tentang paradigma sehat yang sesungguhnya.

Edukasi pun diperlukan terutama di kawasan padat penduduk yang sebagian besar warga memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah.

Edukasi dilakukan dalam bentuk penyuluhan langsung atau tatap muka dengan masyarakat, khususnya ibu yang memiliki balita dan kader posyandu.

Kegiatan edukasi dilaksanakan dengan jumlah peserta yang terbatas dan menerapkan protokol kesehatan untuk pencegahan Covid-19, di antaranya pengukuran suhu serta memastikan seluruh peserta memakai masker dan membersihkan tangan dengan penyanitasi tangan saat mengikuti kegiatan.

Kawasan pemukiman padat penduduk dan dipenuhi kontrakan serta kos-kosan berpadu di gang sempit, hingga pemandangan seperti itu tampak biasa di kawasan setempat. Hal itu pun akhirnya menimbulkan persoalan baru, warga yang datang dan pergi dan administrasi penduduk yang tidak pasti.

Baca Juga: Bank BRI Memperpanjang BLT UMKM Rp2,4 Juta hingga 18 Februari 2021

Baca Juga: Pemilik KIS! Buruan Cairkan Bansos Senilai Rp300 Ribu, Pemerintah Menambah Rp300 Ribu Katagori yang Berhak

Pelaksana edukasi dari Kopmas, Marni R. mengatakan apabila administrasi kependudukan tidak pasti, hal itu akan turut memengaruhi kesehatan keluarga di wilayah setempat.

Sebab, dalam setiap program kesehatan untuk masyarakat, warga yang disasar tentunya yang sudah terdata oleh RT/ RW.

Sebagai contoh, pemberian bantuan-bantuan sosial dari pemerintah, biasanya masyarakat penerima akan dimintakan KTP setempat ataupun pendataan oleh RT/RW.

Tapi sebagian besar masyarakat, apalagi di kawasan padat penduduk yang mayoritas adalah pendatang lebih sering mengabaikan soal administrasi kependudukan. Alhasil, yang seharusnya dibantu malah tidak mendapatkan haknya sama sekali.

Belum lagi persoalan gizi balita, kegiatan posyandu tetap aktif. Bahkan setelah ada pandemi pun kader-kader posyandu tetap melakukan kegiatan penimbangan dan pemberian vitamin serta pengecekkan dari rumah ke rumah.

Hanya saja memang karena banyak yang merupakan pendatang, pengontrak, dan tidak lapor, jadi tidak semua balita tumbuh kembangnya terpantau oleh kader.

Melalui kegiatan sosialisasi dari pintu ke pintu itu, ditemukan masih banyak balita yang tidak mengikuti kegiatan di posyandu dengan alasan tidak tahu dan tidak terdata.

Mereka yang tinggal di rumah kontrakan, rata-rata bekerja sebagai buruh harian dan ibu rumah tangga dan hampir seluruhnya tidak ke posyandu.

Baca Juga: Artis MR Ditangkap Polres Pelabuhan Tanjung Priok Diduga Terlibat Narkoba

Baca Juga: Sejumlah Wilayah DKI Jakarta Masih Menjadi Langganan Banjir

Pengetahuan mereka tentang gizi anak juga rendah, terbiasa mengonsumsi makanan instan, dan tidak tahu apa yang baik dan tidak baik dikonsumsi oleh anak, terutama balita.

Masih cukup banyak orang tua memberikan anak kental manis dengan alasan atas anak lebih suka minum kental manis dibandingkan dengan susu jenis lain.

Bahkan, seorang ibu yang memiliki anak usia tiga tahun mengaku memberikan anak kental manis karena beranggapan susu jenis lain (susu bubuk dan susu UHT) memiliki pengawet.

Fakta yang ironis banyak didapati ketika terjun ke masyarakat untuk melihat langsung penerapan pola hidup sehat mereka.

Protokol kesehatan layaknya jauh dari implementasi sebab menghindari Covid-19 cuma sebatas memakai masker. Di luar itu prasyarat kesehatan belum dianggap sebagai faktor yang penting bagi masyarakat.

Pemahaman yang keliru juga dikhawatirkan terjadi terkait dengan vaksinasi, ketika seseorang telah divaksin mereka dikhawatirkan akan beranggapan sudah kebal Covid-19 sehingga tidak menjaga protokol kesehatan. Padahal, penerapan protokol tetap diperlukan sebagai antisipasi mereka menjalani aktivitas sehari-hari di tengah pandemi ini.

Sayangnya memang hingga saat ini, masyarakat masih banyak termakan informasi sesat atau hoaks terkait dengan kesehatan, termasuk soal pandemi Covid-19.

Lebih lanjut dr Reisa Brotoasmoro menyebut sudah ada ribuan hoaks yang beredar selama sembilan bulan pandemi di Indonesia. Bahkan, beberapa di antaranya terkait dengan vaksin Covid-19.

Ia pun mengajak masyarakat untuk tidak sesat pikir dan mengedepankan fungsi konfirmasi jika menerima informasi apapun terkait dengan kesehatan.

Baca Juga: Survei : Publik Puas Terhadap Kinerja Pemerintahan Presiden Jokowi Meski Covid-19 Masih Tinggi

Baca Juga: Gletser Himalaya Di India Pecah Ratusan Orang Tewas

"Sudah saatnya mencerna informasi dengan baik, daripada panik atau bahkan menjadi penyebar hoaks," kata dia, paradigma yang keliru tentang kesehatan. 

Terpenting kita bisa bersyukur kepada Tuhan untuk terus menjaga kondisi tubuh dalam keadaan yang homeostatis alias seimbang sehingga terjaga kesehatan dan jauh dari sakit, tegasnya.***

Editor: Liston

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah