"Seperti lalu lintas kita pun dibatasi di lampu setopan, kebebasan ekspresi pun dibatasi, oleh nilai 'kesepakatan budaya dan kearifan lokal'. Itulah kenapa isu 'mural kritik' kelihatannya hari ini masih berada di ruang abu-abu," lanjutnya.
Diakhir kutipan Ridwan Kamil mengimbau pada para pembuat mural agar tidak terbawa perasaan (baper) jika karyanya suatu saat raib tanpa jejak.
"Dalam perspektif saya, Mural adalah seni ruang publik yang 'temporer'. Ada umurnya. Pelaku mural juga harus paham dan jangan baper, karena karyanya suatu hari akan hilang. Apalagi tanpa ijin pemilik tembok. Bisa pudar tersapu hujan, dihapus aparat ataupun hilang ditimpa pemural lainnya," pungkas Ridwan Kamil.
Menurut Ridwan Kamil boleh saja berekspresi dan tidak dibatasi oleh kesepakatan budaya dan kearifan lokal sehingga maknanya bisa multitafsir.***