Menurut Mufti, Sejarah Awal Cina Masuk Banten hingga Populer dengan Sebutan Cina Benteng

3 Februari 2021, 18:59 WIB
KLENTENG Sam Poo Kong.*/DOK Genpi.co /

EDITORNEWS - Orang Tionghoa atau Tionghwa atau Huaren adalah sebutan di Indonesia untuk orang-orang dari suku atau bangsa Tiongkok.

Kata ini dalam bahasa Indonesia sering dipakai untuk menggantikan kata "Cina" yang kini memiliki konotasi negatif.

Bahkan di Indonesia suku Cina terdiri dari berbagai macam,
Suku mayoritas:
1.Suku Han (汉族: Hàn Zú)
2.Suku Man (Manchu) (满族: Mǎn Zú)
3.Suku Hui (回族: Huí Zú)
4.Suku Menggu / Suku Mongol (蒙古族: Měnggǔ Zú)
5.Suku Zang / Suku Tibet (藏族: Zàng Zú), dikutip dari Wikipedia.

Baca Juga: Resedivis Narkoba Kembali Diringkus SatRes Narkoba Polres Merangin

Baca Juga: Arab Saudi Melarang Masuk Pengunjung Dari 20 Negara Mulai 3 Februari 2021

Di Indonesia sendiri orang Cina sudah hampir merata bahkan dari tingkat ekonomi mereka banyak yang sukses, di Provinsi Banten bukan hal baru. Sejak masa Banten Girang hingga Kesultanan Banten, mereka telah tinggal dan membaur, bahkan memiliki peranan penting.

Kehadiran orang Cina atau komunitas masyarakat Tionghoa di Banten memiliki bentang sejarah panjang. Kehadirannya juga memberi corak warna yang melebur pada kehidupan masyarakat Banten.

Jejak itu dapat terlihat pada beberapa artefak, yang sampai saat ini masih bisa dijumpai. Sebut saja, Kampung Pacinan di Kasemen.

Eks Chinatown pada masa Kesultanan Banten ini, masih bisa dijumpai reruntuhannya dari menara Masjid Pacinan Tinggi, yang dahulunya menjadi tempat ibadah bagi Tionghoa muslim.

Sekira 500-an meter dari kawasan itu, terdapat Vihara Avalokitesvara. Permukiman lainnya, terdapat di Tangerang atau yang populer dengan sebutan Cina Benteng.

Rekam jejak sejarah kehadiran bangsa Tionghoa sudah berlangsung sejak permulaan abad, masa Kerajaan Banten Girang. Catatannya terdapat dalam dokumen pelayaran berjudul Shungfeng Xiangsong, pada medio 1500.

Baca Juga: Pertarungan Tyson dan Jones akan Dilaksanakan 8 Ronde dalam Durasi 2 Menit

Baca Juga: Upah Buruh Tani dan Bangunan Mengalami Kenaikan Menurut Pantauan BPS

Dokumen yang dirujuk Arkeolog Perancis Claude Guillot untuk menulis buku berjudul ‘Banten: Sejarah dan peradaban abad X-XVII’. Dalam buku itu, sudah disebutkan kata Wan-tan dan Shunt'a untuk menyebut Banten atau Sunda.

Masa itu, Kerajaan Banten Girang dikenal sebagai negara pesisir, yang menyandarkan perekonomiannya pada perdagangan lada. Kerajaan ini disebut menjalin hubungan dengan China.

Salah satu buktinya, banyak ditemukan keramik-keramik Cina dari berbagai Dinasti Cina pada abad 12-13 pada situs Eks Kerajaan Banten Girang. Bukti itu, kini disimpan pada Museum Purba Kala Banten Lama, Kasemen, Kota Serang.

Kemungkinan orang-orang Tiongkok sudah hadir pada permulaan abad. Namun, dokumen resmi menyebut kehadiran mereka sekira abad 10.

Terlebih, pada sekira abad 13-14, perekonomian Banten Girang dengan lada sebagai komoditas utamanya, mengalami perkembangan berkat digalakkan perdagangan dengan Tiongkok.

“Sejak zaman Banten Girang, mereka sudah menjadi midlle man (kelas menengah) yang mengumpulkan lada dari para petani,” kata Peneliti Sejarah Banten, Mufti Ali saat mengulas 'Jejak Tionghoa di Banten'.

Selain di Banten Girang, Mufti menyebut, beberapa situs etnik Tionghoa banyak dijumpai hingga pelosok Banten. Menurutnya, kedatangan orang-orang Tionghoa didorong dengan motif perdagangan.

Sebagai bangsa yang praktis dan ingin tetap survive di negeri perantauan, sebagian dari mereka juga mengembangkan pertanian. Dari proses itu, diduga mereka mulai menyebar hingga ke pelosok-pelosok Banten.

Baca Juga: Aldebaran Cemburu saat Melihat Rafael Simpati Kepada Andin

Baca Juga: Presiden Jokowi Menghadiri Acara Puncak Perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2021

Di antaranya, di daerah Pegunungan Cimuncang, Mandalawangi, Kaki Gungung Karang, Jiput, dan Carita. Di daerah itu banyak dijumpai warga yang secara fisik mirip dengan orang-orang Tiongkok.

Pada masa Kesultanan Banten gelombang orang Tionghoa datang ke Banten semakin banyak. Terlebih ketika dekade 1670-1671, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan Kaytsu dan Cakradana membangun tiga jalan di Kawasan Banten Lama.

Jalan itu masing-masing dibangun dua puluh rumah berbahan bata dan toko-toko di kedua sisi jalan. Pembangunan sebanyak 120 rumah ini sengaja dilakukan untuk menyambut pendatang baru yang tidak saja dari dari Tiongkok, tetapi juga dari Batavia (sekarang Jakarta).

Selang tak lama, ketika perang melanda Fujian dan Cina Selatan, serta terjadi kekacauan di Pesisir Utara Jawa akibat pemberontakan Trunojoyo pada 1676, Banten menjadi tujuan persinggahan.

Tak hanya Cina dari Amoy Jawa Timur, juga dari Jawa Tengah. Menurut Mufti, ada lebih dari 1000 orang Tionghoa yang mengungsi dan mendapat pekerjaan di Banten.

Baca Juga: Presiden Jokowi Menghadiri Acara Puncak Perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2021

Baca Juga: 3 Rekomendasi untuk Berliburan Bersama Keluarga, Salah Satunya Diving di Pulau Raja Ampat

“Fakta ini menunjukkan bahwa Sultan bisa memberikan jaminan keamanan untuk hidup dan berdagang dan hidup di Banten secara aman dan nyaman,” sebut doktor lulusan Univesitas Leiden Belanda ini.

Peranan mereka juga semakin kuat tidak hanya dalam urusan perdagangan, akan tetapi dalam arah kebijakan istana. Terlebih, sejak Kaytzu dan Cakradana yang merupakan orang Tionghoa, dinobatkan sebagai syahbandar. Seperti dikutip Editornews dari Serangnews Sejarah Awal Orang China Masuk Banten: Temuan Artefak hingga Peranan di Masa Kesultanan Banten

Dua orang ini punya andil besar dalam masa Kesultanan dan membawa Banten sebagai Kota Metropolis.

“Tak heran orang Tionghoa  diperlakukan istimewa karena mereka menjadi penyambung kemakmuran Banten,” kata Mufti.***

Editor: Liston

Sumber: serangnews.pikiran-rakyat.com

Tags

Terkini

Terpopuler