Diah memutuskan untuk mengunjungi psikolog untuk mengobati gejalanya. Ia memilih yayasan kesehatan jiwa yang berlokasi di Jakarta Selatan. Namun, prosesnya tidak mulus; Dia harus menunggu tiga hingga empat minggu untuk bertemu psikolog.
Karena Diah menyadari gejalanya menjadi "tak tertahankan," dia memutuskan untuk mendaftar untuk sesi telecounseling sebelum sesi terapi yang dijadwalkan.
Saat itulah dia berbicara dengan seorang psikolog melalui telepon, dan sementara dia pikir psikolog melakukan pekerjaan yang "baik-baik saja", dia memilih untuk tidak melanjutkan sesi.
"Saya tidak memiliki masalah dengan tanggapan psikolog terhadap kesengsaraan saya. Namun, konseling melalui telepon tidak terasa nyaman. Saya merasa kurang dekat dengannya," kata Diah.
Baca Juga: Wajib Diamalkan ! Empat Adab Menguap dalam Islam
"Dan kemudian, ketika saya bertanya apakah saya membutuhkan lebih banyak sesi, dia menyarankan, 'tunggu dulu, mari kita lihat bagaimana hal-hal berkembang'. Jadi saya berpikir, 'jangan lanjutkan dengan konseling melalui telepon.'
Sayangnya, ketika Diah akhirnya bertemu dengan psikolog yang ditunggu-tunggunya, ia tidak puas dengan pelayanan yang diberikan.
"Ketika saya memberi tahu dia tentang masalah saya, reaksinya dingin," kenang Diah. "Dan untuk pertemuan pertama, saya merasa dia terlalu konfrontasi "Saya pikir mungkin ada orang yang bisa langsung membentak setelah pertemuan konfrontatif seperti itu. Namun, saya pribadi percaya bahwa pertemuan pertama harus tentang proses keterbukaan."
Diah mengamati bahwa psikolog bertindak menghakimi berdasarkan ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya.
Ketidakpuasannya mendorongnya untuk mencari profesional lain. Dia mengunjungi departemen psikologi di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta yang menurut Diah memberikan perawatan yang lebih baik.***