Alasan Kuat Kenapa Komnas HAM Tolak Hukuman Mati Untuk Kasus Pemerkosaan 13 Santriwati Oleh Herry Wirawan

13 Januari 2022, 19:43 WIB
Herry Wirawan Kasus pemerkosaan 13 santriwati di Bandung /

EDITORNEWS.ID – Herry Wirawan menjadi terdakwa usai memperkosa 13 santriwati. Beberapa santriwati hamil bahkan ada yang sudah melahirkan.

Herry disebut terbukti bersalah sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 17 Tahun 2016 yentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.

Atas perbuatannya itu, jaksa penuntut umum menuntut agar hakim menjatuhkan hukuman mati dan hukuman kebiri, serta dikenakan denda Rp1 miliar terhadap terdakwa Herry Wirawan.

Jaksa beralasan bahwa terdakwa seharusnya melindungi sebagai guru dan pemilik pondok pesantren. Apalagi para korbannya, ada yang sampai hamil dan melahirkan.

Baca Juga: Habis Masa Jabatan Anies Baswedan, Giring Ganesha: Kader PSI Cocok untuk Jadi Gubernur Jakarta

Namun demikian, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak setuju dengan tuntutan hukuman mati yang dilayangkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) kepada terdakwa kasus perkosaan 13 santri di Bandung tersebut.

Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan hukuman tersebut bertentangan dengan prinsip HAM.

“Komnas HAM tidak setuju penerapan hukuman mati karena bertentangan dengan prinsip HAM,” ujar Beka, Rabu 12 Januari 2022.

Menurut Beka Ulung Hapsara, Harry tidak seharusnya dihukum mati karena hak hidup merupakan hak yang tidak bisa dikurangi dalam situasi apa pun (non derogable rights).

Baca Juga: Polisi Ringkus 9 Muncikari Kasus Prostitusi Online di Pontianak

“Alternatif hukuman bisa dihukum seumur hidup,” usulnya.

Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, untuk kebijakan hukuman mati ini memiliki dampak yang akan menjadi perhatian dunia internasional. Maka dari itu sebagai lembaga penegak hukum harus hati hati dalam menerapkan kebijakan hukum.

“Bisa saja disorot PBB atau dunia internasional karena Indonesia masuk ke dalam negara yang masih menerapkan hukuman mati,” ujar anggota Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, Kamis, 13 Januari 2022.

Meskipun saat ini penerapan hukuman mati sedang ditangguhkan, namun pemerintah mengedepankan prinsip kehati-hatian jika sudah mengarah pada penerapan hukuman mati.

Beka mengatakan, sebagian besar negara di dunia telah menghapuskan pidana hukuman mati atau paling tidak menunda kebijakan itu.

Baca Juga: Polisi Ringkus 9 Muncikari Kasus Prostitusi Online di Pontianak

Pada satu sisi, Komnas HAM juga mengingatkan Indonesia telah meratifikasi konvensi anti penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi oleh PBB. “Artinya, ratifikasi ini juga harus menjadi pertimbangan dari semua aparat penegak hukum, pejabat dan pembuat kebijakan,” ujar Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM/Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM itu.

Terkait tuntutan yang dilayangkan jaksa penuntut umum terhadap Wirawan, Komnas HAM menegaskan mereka tetap menghormati proses hukum. Selain itu, lembaga itu juga tidak bisa melakukan intervensi atas kebijakan yang diambil.

Akan tetapi, Komnas HAM tetap bersuara sesuai ranah lembaga termasuk memberikan sejumlah pertimbangan misalnya mengenai pembahasan RUU KUHP yang sedang dibahas dengan harapan nanti secara lambat laun pidana hukuman mati tidak lagi menjadi pidana pokok bagi pelaku kejahatan.

Secara tegas, Beka mengatakan Komnas HAM menentang hukuman mati untuk semua tindakan kejahatan termasuk kekerasan seksual seperti yang dilakukan oleh terdakwa Herry Wirawan.

Baca Juga: Fuji Semakin Tenar di Dunia Maya, Sang Ayah Buka Suara

“Pada prinsipnya Komnas HAM menentang hukuman mati untuk semua tindakan kejahatan atau semua tindakan pidana termasuk juga pidana kekerasan seksual, seperti yang dilakukan oleh Herry Wirawan,” jelas Beka.

Beka mengatakan, alasan yang mendasari penentangan ini adalah prinsip hak asasi manusia, salah satunya hak hidup.

Menurut Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM/Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan ini, hak hidup sebagaimana telah termaktub dalam konstitusi Undang Undang Dasar (UUD) 1945.

Tepatnya, pada pasal 28A yang menjamin bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.

“Hak hidup adalah hak yang tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun. Honor eligible right itu sudah ada di konstitusi kita dan juga ada di berbagai instrumen hak asasi manusia yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia,” jelas Beka.***

Editor: Sylvia Hendrayanti

Tags

Terkini

Terpopuler