Presiden Direktur Rokan Group : Kita Harus Menolak Klaim Tiongkok

16 Desember 2020, 09:11 WIB
Coast Guard Indonesia penjaga laut Natuna. /

EDITORNEWS - Kemelut di perairan Natuna, khususnya Indonesia lawan China terkait Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) terjadi pada akhir tahun 2019 hingga awal 2020.

China mulai mengusik ingin memiliki sebagian wilayah Natuna yang kaya raya sumber alam. Padahal Laut Natuna Utara, yang diklaim sebagai Laut China Selatan itu, masuk ZEE Indonesia.

Rustian selaku Presiden Direktur Rokan Group pada Rabu, 16 Desember menyampaikan,

Baca Juga: Intervensi Negara Akan Semakin Besar, Terkait Dengan Pola Perdagangan Komoditas

“Dulu perjuangan meluaskan ZEE dari 3 mil menjadi 12 mil sangat sulit. Kita harus menolak klaim Tiongkok tersebut,” 

Rustian bersama Menteri Luar Negeri 1978-1988 Muchtar Kusumaatmadja adalah sosok di balik keberhasilan perluasan ZEE dari 3 mil menjadi 12 mil.

Baca Juga: Tiga Perusahaan di China di Denda Akibat Melanggar Undang-Undang Monopoli

Sedangkan Rokan Group sendiri adalah kelompok usaha yang bergerak di bidang perkebunan, utamanya sawit.

Namun di dalam perjalanan, Rokan terlibat dalam berbagai aksi kemanusiaan seperti mengurusi transmigrasi, membantu makanan pengungsi Vietnam di Pulau Galang, swasembaga beras, dan normalisasi hubungan RI-China. 

Baca Juga: Jesy Nelson Hengkang dari Little Mix

“ZEE harus dipertahankan karena di situ masa depan bangsa. Banyak sumber daya alam di dalamnya, selain ikan,” kata Rustian.

Rustian ambil bagian lobi perluasan ZEE  ke negara-negara yang mempunyai hak veto di PBB, di luar China. 

Baca Juga: Artis Berwajah Cantik Salshabilla Adriani Mengalami Kecelakaan Beruntun di Kemang, Jaksel

Hal itu karena dia dekat dengan  para pejabat PBB lantaran banyak membantu lembaga dunia tersebut dalam berbagai kepentingannya.

Namun, sejarahnya berawal ketika dia dipanggil mendiang Presiden Soeharto untuk membantu mengurusi transmigran dari Jawa ke luar Jawa dan melobi PBB agar Indonesia mendapat bantuan program “Rawan Pangan” di bawah World Food Program (WFP) milik PBB. 

Baca Juga: Bupati Kerinci Adirozal Terpapar Positif Covid-19

“Soeharto bilang, ‘Kita bukan butuh bantuan beras, tapi pengakuan dunia atas transmigrasi.’ Maklum waktu itu, transmigrasi banyak disorot karena dianggap banyak masalah seperti jawanisasi,” tuturnya.

Lobi-lobi dan tugas yang diemban Rustian berjalan baik. Indonesia mendapat hibah dari PBB. Rustian semakin dekat dengan para pejabat PBB.

Baca Juga: Pengguna Vaksin Covid-19 Mulai dari Usia 18 Hingga 15 tahun

Dari sini nanti memperlancar upaya Indonesia memperluas ZEE. “Dari pekerjaan terkait transmigrasi dan PBB tersebut, membuat akses saya ke PBB jadi lancar. Hal ini lalu memudahkan kelak ketika saya ikut membantu menlu mengenai perluasan ZEE tadi,” kata Rustian.

“Atas keberhasilan perluasan ZEE ini membuat jumlah pulau yang dimiliki Indonesia bertambah dari 8.000 menjadi 17.000. Hal itu terjadi tahun 1982 saat bersama Menlu Muchtar di Genewa mampu mengegolkan perluasan ZEE tersebut,” ujarnya.

Baca Juga: Indonesia Lawyears Club (ILC) Pamit dari Hadapan Publik

Sedang di era sekarang, Menlu Retno Marsudi, menegaskan, Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan China, sebagaimana dituduhkan Beijing. 

Indonesia pun tidak akan pernah mengakui nine dash-line. Sebab penarikan garis tersebut bertentangan dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) sebagaimana diputuskan tahun 2016 lalu. 

Baca Juga: Facebook Meluncurkan Aplikasi Pembuatan Musik Secara Kolaboratif

UNCLOS adalah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut.

Menurut Kemenlu, Nine dash-line China adalah garis yang digambar di peta pemerintah China. Di mana negara itu mengeklaim wilayah Laut China Selatan, dari Kepulauan Paracel (yang diduduki China, tapi diklaim Vietnam dan Taiwan) hingga Kepulauan Spratly yang disengketakan dengan Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam.***

Editor: Liston

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler